Tuak dan Kesehatan

Konon Menteri Kesehatan FL Tobing yang juga pernah Menteri Penerangan berkata, minum tuak itu bisa menyehatkan tubuh. Pada saat yang sama Gubernur Sumut EWP Tambunan membatasi peredaran tuak. Alhasil?

Setelah 30 tahun, kini tuak tetap dikonsumsi secara luas. Inilah sebuah tulisan tentang tuak yang dikutip Batak News dari majalah Tempo edisi 8 Desember 1979.

Tuak adalah minuman penting di kawasan Tapanuli, Sumatera Utara. Diminum waktu santai, pesta kelahiran anak, perkawinan, kematian, musyawarah, dan juga sebagai obat.

Tiada hari tanpa tuak, begitu kata orang Batak di kampung halamannya di Tapanuli. Dan pemandangan di warung-warung tuak pun tetap bertahan: beberapa orang setengah mabuk memetik gitar, menyanyi, dan sebagian lagi larut berlisoi-lisoi atau menari tor-tor.

Bahkan di samping sarana bersantai, kedudukan tuak begitu penting: berhimpit dengan adat istiadat. “Selama adat Batak masih tegak,” kata Lumbantobing, pemilik warung tuak di Jembatan Senggol, Sibolga Julu, “selama itulah peranan tuak terus terjamin.”

Coba saja. Tak ada sebuah pesta adat pun, pesta kelahiran, perkawinan sampai kematian, dilewatkan tanpa berbotol-botol tuak. Musyawarah akan macet jalannya tanpa tuak. Sebelum musyawarah dibuka, ketua rapat akan nyeletuk lebih dulu, “Mana tuak takkasan, mana tuak yang membuat lancar omongan?”

Tuak adalah kehormatan. Mengunjungi mertua bagi menantu terhormat adalah mempersembahkan sebotol tuak. Hadiah bagi bayi yang baru lahir pun selalu disertai ucapan, “Ini nak, sekadar pembeli tuak na tonggi, tuak manis.”

Konon tuak pula yang membuat tubuh orang Batak di kampung halamannya rata-rata sehat dan berumur panjang. Ompung Bokor (85), misalnya, sampai hari ini tetap sehat walafiat, napasnya masih panjang, dan giginya pun terhitung utuh. Hingga kini hari-hari Ompung Bokor jadi menggelisahkan tanpa sebotol tuak.

Obat mujarab resep kuno adalah juga tuak. Air sadapan getah enau itu diyakini menjadi penangkal segala macam penyakit. Jantung akan tetap teratur berdenyut, penyakit malaria, apalagi cuma sekadar masuk angin, akan menjauh dari tubuh si pecandu. Air susu yang tumpat pun akan lancar bila si ibu secara teratur minum tuak sehabis bersalin.

Itu semua cerita Lumbantobing, Sarumpaet, atau pemilik warung tuak lain yang tersebar merata di setiap pojok Tanah Batak. Itu bukan kampanye minum tuak. Sebab menurut Marali Sarumpaet, pemilik warung tuak di Poriaha, Tapanuli Tengah, pahlawan nasional Ferdinand Lumbantobing — bekas Menteri Penerangan RI yang biasa disebut FL Tobing — pernah bilang: minum tuak secara teratur sesungguhnya mendatangkan kesehatan. Asal jangan ditenggak dalam kondisi perut yang kosong atau sampai tenggen alias mabuk. FL Tobing adalah dokter yang pernah juga menjabat Kepala Rumahsakit Umum di Sibolga.

Tapi belakangan ini tuak Batak mendapat ancaman. Tak kurang dari Gubernur Sumatera Utara sendiri, EWP Tambunan, melancarkan anti-jual dan minum tuak sembarangan. Sebab angka-angka pelanggaran, kejahatan, dan keributan bersumber dari warung tuak, dari para pemabuk.

Di Kotamadya Sibolga lebih terlihat usaha penertiban. Polisi bersama petugas Dinas Kesehatan turun ke lapangan mengadakan pembersihan ke berbagai warung yang tak berizin menjual tuak. Berhasil disita lebih 6 ribu botol dari sekitar 40 warung. Pemilik warung akan diseret ke pengadilan dengan tuduhan melanggar peraturan daerah tentang izin menjual minuman keras.

Gebrakan pemerintah daerah disambut hangat kalangan yang tidak menyukai kegiatan tuak dan mabuk-mabuk secara sembarangan. “Kami sih tidak antipati dengan minuman keras, kalau hal itu lazim dinikmati saudara yang beragama Kristen,” ujar Hajjah Hasni Marbun, pimpinan salah sebuah organisasi wanita Islam di sana. Tapi yang benar saja, katanya warung-warung tuak kadang berdiri di tempat-tempat yang tak layak. Misalnya, di muka mushalla atau sekolah. Dan lagi, ceritanya, sang hajjah ini pernah dikejar-kejar seorang pemabuk di tengah kota. Untuk menyelamatkan diri, dia terpaksa lari dan bersembunyi dalam sebuah [justru] warung tuak.

Namun begitu, pemilik warung tuak tetap optimis. Laki-laki Batak juga masih rajin memanjat pohon enau yang di sana disebut bagot. Di atas pohon, si penyadap bergendang memukul-mukul pelepah mayang enau sambil mendendangkan pantun lama. Walaupun di bawah, tuaknya diancam razia atau “ditembak” pemabuk yang sering menunggak utang.

0 komentar:

Copyright © 2008 - Tuak Bali - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template